HAM Untuk Orang Rimba
Oleh: Nurul Faqiriah
INDONESIA merupakan negara besar
dengan berbagai suku, ras dan kebudayaan. Saat ini masih banyak masyarakat adat
yang mempertahankan tradisi mereka namun ditengah era industrialisasi saat ini
eksistensi mereka semakin terancam, masyarakat adat kerap mengalami
diskriminasi, penggusuran lahan oleh perusahaan, serta dipaksa meninggalkan
tradisi.
Hal
ini dialami berbagai masyarakat adat di Indonesia salah satunya yaitu Orang Rimba.
orang rimba merupakan suku asli yang tinggal di pedalaman hutan Jambi di kawasan bukit 12 dan taman
bukit 30 kabupaten Bungo, Tebo, Sorolangun dan Batanghari.
Orang rimba tinggal dan menetap di dalam hutan dengan
pola nomaden, mereka tinggal dalam rumah pondok
yang dibuat dari kayu, daun, rotan. Serta mereka memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan cara berburu dan meramu dari sumber daya alam yang
ada di hutan, masyarakat rimba menganut kepercayaan
mempercayai dewa-dewa dan leluhur.
Saat ini keinginan orang rimba
untuk melestarikan adatnya terancam punah, mereka seolah-olah dipaksa mengikuti
modernisasi. Mereka terpaksa meninggalkan kepercayaan dan memilih agama mayoritas karena ingin diakui negara agar dapat
bertahan hidup.
Orang Rimba ingin memberikan
penghidupan yang layak terhadap anak-anak mereka melalui Pendidikan namun,
sekolah tidak dapat menerima karena orang rimba tidak punya akta, dan syarat
membuat akta harus ada akta perkawinan dimana proses pembuatan akta perkawinan
harus memeluk agama yang diakui negara.
Selain itu masuknya
industrialisasi ke kabupaten Tebo yang menyebabkan kebakaran hutan semakin
mengancam orang rimba, sejak 2017-2019 tercatat 1,2 hektare atau 57%
dari total hutan provinsi jambi mengalami kerusakan membuat hutan menjadi gundul.
Akibatnya orang rimba yang biasa
melakukan hidup nomaden dihutan semakin tersingkirkan dan terancam.
Perlindungan
HAM Untuk Orang Rimba
UUD 1945 Pasal 28 E ayat (2)
menyatakan ‘’bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan’’. Yang kemudian dilanjutkan dalam UUD 1945 Pasal 28I Ayat (1) yang
menyatakan ‘’beragama merupakan hak asasi manusia’’.
Dari sini dapat dilihat
bahwasanya memaksa orang Rimba untuk memeluk agama mayoritas agar diakui
keberadaannya merupakan sesuatu yang melanggar undang-undang. lagi pula, hak-hak
masyarakat adat telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 18B yang menyatakan ‘’Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia’’ .
Selain
itu Dalam UU No.39 Tahun 1999 pasal 6 menyatakan ‘’untuk menegakan hak asasi manusia perbedaan
dan kebutuhan masyarakat hukum adat harus dilindungi oleh hukum, masyarakat dan
pemerintah serta identitas budaya masyarakat hukum adat dilindungi selaras
perkembangan zaman’’.
Dengan mengacu pasal yang telah
disebutkan diatas pemerintah Indonesia harusnya melindungi dan melestarikan
Orang Rimba bukan malah memaksa mereka untuk menginggalkan tradisi yang sudah
mereka anut sejak zaman nenek moyang. Meskipun orang rimba telah memilih masuk
agama mayoritas,
namun tetap saja, hak-hak mereka masih diabaikan.
Salah satu tujuan orang rimba
untuk memeluk agama adalah keinginan mereka diakui sebagai warga negara untuk
mendapatkan hidup yang lebih layak. Namun, setelah memeluk agama pun keinginan mereka
untuk mendapat kewarganegaraan masih dipersulit oleh sistem birokrasi.
Mereka belum mendapatkan KTP
karena mereka dianggap pendatang dan tidak diakui di desa manapun sehingga mereka
tidak memenuhi persyaratan pembuatan KTP.
Sekalipun penganut kepercayaan
lebih diakui keberadaannya melalui keputusan Mahkamah Konstitusi pada 7
November 2017 yang memperbolehkan penganut kepercayaan mencantumkan
kepercayaannya di Kartu Keluarga dan KTP namun pada implementasinya tidak merata,
masih banyak para penghayat kepercayaan yang masih kesulitan mendapatkan dokumen
warga negara. Hingga 2019 masih sedikit orang rimba yang memiliki KTP.
Sebagaimana yang telah dijelaskan
diatas diskriminasi yang dialami orang rimba tidak hanya berupa keharusan
memeluk agama mayoritas tetapi juga masuknya perkebunan sawit membuat
permasalahan yang dialami orang rimba semakin kompleks. Terlebih dimasa pandemi
seperti sekarang.
Baru-baru ini terjadi konflik
antara Orang Rimba dengan perusahaan sawit, dimana ketika orang rimba hendak
mengambil brondolan buah sawit yang jatuh dari tandannya di sebuah perusahaan
kelapa sawit namun, satpam perusahaan yang melihat langsung mengusir padahal,
lahan perkebunan sawit ini merupakan tempat tinggal orang rimba sebelum
berdirinya perusahaan sawit.
Brondolan ini merupakan
satu-satunya pencahariaan orang rimba dimasa pandemi ini untuk memenuhi
kebutuhan pangan. Pasalnya, mereka biasanya berburu namun akibat virus Covid-19
ini tempat penampungan hasil buruantengah ditutup.
Padahal, Orang Rimba patut
dilibatkan dalam pemanfaatan industri, pengelolaan konservasi bukan hanya
semata-mata untuk perusahaan sawit lalu mereka terpinggirkan. Konvensi ILO 169
Pasal 1 ayat (1) telah menyebutkan bahwasanya hak masyarakat adat terhadap
sumberdaya alam yang berhubungan dengan tanah mereka harus di lindungi termasuk
hak mereka dalam pemanfaatan sumberdaya dan konservasi sumberdaya alam.
Rekomendasi
untuk pemerintah.
Dalam melindungi hak masyarakat
adat saat ini pemerintah memang dapat dibilang selangkah lebih maju. Pasalnya
Undang-Undang mengenai masyarakat adat masuk Prolegnas 2020. Ini merupakan
harapan baru untuk masyarakat adat terutama orang Rimba.
Namun, tak hanya itu pemerintah Indonesia
juga harus mengusulkan budaya rimba masuk dalam warisan budaya Indonesia ke
UNESCO. Dengan begitu maka akan lebih menangkat budaya Orang Rimba terhadap
masyarakat internasional. (***)
Nurul Faqiriah
adalah Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas
Islam Indonesia
Comments